If I were to wish for anything, I should not wish for wealth and power, but for the passionate sense of the potential, for the eye which, ever young and ardent, sees the possible. Pleasure disappoints, possibility never. And what wine is so sparkling, what so fragrant, what so intoxicating, as possibility! – Soren Kierkegaard – 

SEJARAH, HOLOPIS.COM – Eksistensialisme merupakan paham yang sangat berpengaruh pada abad modern. Paham ini menyadarkan akan pentingnya kesadaran diri. Manusia disadarkan atas keberadaannya di bumi ini. Kierkegaard adalah salah satu tokoh yang berpengaruh. Kiekergaard mengklasifikasi eksistensi menjadi 3 tahap, yaitu tahap estetis (the aesthetic stage), etis (the ethical stage) dan religius (the religious stage).

Soren Kierkegaard yang lahir pada 5 Mei 1813 dan tutup usia pada 11 November 1855, adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sangat terpengaruh oleh pengalaman keagamaan dan kehidupan ayahnya dan ia melanjutkan pendidikan dalam bidang teologi di Universitas Kopenhagen. Selama menempuh pendidikannya di Universitas, ia tertarik juga pada Filsafat dan Sastra.  Kierkegaard lulus pada 20 Oktober 1841 dengan gelar Magistri Artium, yang saat ini setara dengan Ph.D.

Kierkegaard dalam pemikirannya menerangkan adanya dua kapasitas dalam hidup ini. Dua kapasitas itu adalah sebagai manusia sensual dan makhluk rohani. Kapasitas sensual merujuk pada indrawi sedangkan makhluk rohani lebih menunjuk pada manusia yang sadar secara rasio. Dalam tahap ini, lebih cenderung pada wilayah indrawi. Jadi, kesenangan yang hendak dikejar berupa kesenangan indrawi.

Kierkegaard memaparkan bahwa manusia estetis memiliki jiwa dan pola hidup berdasarkan pada keinginan-keinginan pribadinya, naluriah dan
perasaannya. Bisa disimpulkan bahwa manusia estetis sangat egois, dan mementingkan diri sendiri.

Kierkegaard di kenal menentang filsafat yang bercorak sistematis, karena menurutnya, filsafat bukanlah sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual. Di sini terlihat bahwa Kierkegaard memberi suatu reaksi terhadap idealisme yang sama sekali berbeda dari reaksi materialisme.

Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel. Keberatan utama yang di ajukan oleh Kierkegaard, di karenakan Hegel meremehkan eksistensi yang kongkret dengan pemikirannya yang justru mengutamakan idea yang sifatnya umum. Di sinilah kemudian Kierkegaard berupaya menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelien dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme.

Kierkegaard adalah seorang yang pada zamannya melancarkan reaksi terhadap hidup kemasyarakatan. Keadaan masyarakat pada waktu itu tidak menunjukkan sebuah usaha untuk memecahkan persoalan-persoalan praktis sehari-hari, serta mengabaikan perkara-perkara batiniah. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang menjadi prinsip Kierkegaard, bahwasanya persoalan-persoalan praktis sehari-hari itulah yang justru menjadi persoalan hidup yang sebenarnya.

Memang pada kenyataannya, sejak Kant hingga Hegel orang hanya membicarakan persoalan-persoalan besar yang bersifat umum, sedangkan untuk persoalan khusus dan praktis, pada umumnya orang berpendapat bahwa pemecahannya dapat diturunkan dari dasar-dasar yang umum itu. Kierkegaard kemudian menganggap Hegel mengaburkan hidup yang kongkret, tak heran jika Kierkegaard meremehkan argumentasi abstrak mengenai metafisika yang spekulatif ala Hegel.

Mengapa demikian? Karena Hegel berpendapat bahwa hidup yang kongkret itu hanya mewujudkan suatu unsur saja di dalam proses pengembangan idea. Pandangan demikianlah yang yang ditolak Kierkegaard. Menurutnya, pertanyaan mengenai, “Apa yang harus dilakukan dalam keadaan yang kongkret itu?” Justru diperhadapkan oleh manusia setiap harinya. Patokan umum yang berlaku bagi umat manusia di segala zaman dan tempat tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan hidup yang timbul sehari-hari. Sebab setiap orang dihadapkan dengan persoalannya sendiri, yang khusus hanya berlaku baginya. Persoalan-persoalan yang kongkret yang timbul setiap hari itu oleh Kierkegaard disebut “persoalan-persoalan eksistensial”.

Demikianlah menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi, harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada”  yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”.

Apa yang semula berada sebagai kemungkinan  berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan. Perpindahan atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang harus dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri.