HOLOPIS.COM – Simone de Beauvoir adalah tokoh feminisme. Ia merupakan salah satu pemikir feminis paling berpengaruh di abad ke-20. Karya Simone de Beauvoir yang paling terkenal adalah “The Second Sex”.
The Second Sex adalah buku yang mencerminkan apa yang disebut sebagai gelombang kedua feminisme. De Beauvoir menunjukkan penalaran logisnya mengenai persepsi jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Baginya, ada perbedaan mencolok antara istilah perempuan dan laki-laki.
Namun yang paling penting, Beauvoir percaya bahwa persepsi tentang gender ini tidak diwariskan secara biologis tetapi mereka ‘dipaksakan’ oleh masyarakat atau lingkungan.
Dalam buku Le Deuxième Sexe atau The Second Sex (1949) de Beahuvoir melontarkan protes kerasnya perihal perlakuan terhadap perempuan di tengah masyarakat Eropa dengan kalimat: “One who is not born is the Other, but woman.” Ya, perempuan tidak terlahir, melainkan dicetak, dan dibentuk. Artinya, perempuan tertindas dan terpenjara sekaligus terdepak dari kesetaraan.
Menurut Beauvoir dalam bukunya tersebut, Perempuan adalah sang “liyan” yang tidak hanya berbeda, tetapi juga sengaja dibeda-bedakan secara diskriminatif oleh lelaki, baik lelaki secara personal, maupun lelaki dalam bentuk sistem dan nilai.
De Beauvoir sekali lagi telah memperlihatkan kita bahwa di Eropa, masih banyak perempuan yang terkungkung dan menjadi The Second Sex, baik secara ekonomi, politik, budaya, dan terutama pendidikan. Perempuan seakan terus berada di pinggiran sejarah, di tepian keseharian lelaki. Inilah yang menyebabkan perempuan rentan mengalami perbudakan, penganiayaan, intimidasi dan bahkan kekerasan dalam rumah tangga, juga oleh nilai-nilai yang terus dikembangkan secara budaya.
Beauvoir juga mengungkapkan fakta-fakta di belakang penindasan perempuan dalam sejarah. Hierarki jenis kelamin telah ditegakkan dengan melihat kembali data penelitian pra-sejarah serta etnografi yang dihasilkan filsafat eksistensialis.
Dimulai pada masa kaum pengembara, pengolah tanah di masa lampau, zaman patriarkal dan purbakala klasik, dari abad pertengahan hingga abad ke delapan belas di Prancis, sampai dengan setelah Revolusi Prancis yang menggambarkan situasi perempuan sebagai ‘liyan’ yang mengalami penindasan hingga mendapatkan kesempatan untuk bebas.
Bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan, laki-laki menganggap bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan menciptakan mitos tentang perempuan. Laki-laki selalu mencari sosok perempuan ideal yang akan menjadikannya lengkap. Dengan memfokuskan pada laki-laki, Beauvoir menunjukkan bahwa karya-karya mereka merefleksikan perempuan yang ideal dan yang dipuja laki-laki adalah perempuan yang mengorbankan diri agar menyelamatkan laki-laki. Dalam setiap karya sastra tersebut, perempuan didorong untuk melupakan, mengabaikan, atau melakukan penyangkalan terhadap dirinya.
Ketika Beauvoir menulis tentang hidupnya, dia mengakui bahwa ada beberapa “kebijaksanaan yang tidak dapat dihindari” yang mencegahnya untuk menceritakan semuanya. Dia tidak merahasiakan fakta bahwa hidupnya terdistorsi oleh kelalaiannya – tetapi itulah salah satu alasan mengapa kehidupan seperti itu menurutnya menarik.
Kata distorsi berasal dari bahasa Latin torquere – memutar, menyiksa. Sebagai pribadi, Beauvoir harus hidup dengan kehidupan publik yang terdistorsi selama beberapa dekade, dan terkadang konsekuensinya dipelintir dan menyiksa.
Simone de Beauvoir, Filsuf Prancis dan Tokoh Feminis Modern
Temukan kami di Google News, dan jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.