JAKARTA, HOLOPIS.COM – Tragedi KRI Nanggala-402 belum lama ini menjadi pelajaran besar seharga 53 nyawa prajurit, bahwa upaya negara untuk melindungi bangsa dan memberi rasa aman terhadap seluruh warga tak boleh mengabaikan keselamatan dan kondisi alutsista itu sendiri.
Menyusul tragedi itu, sejumlah pihak mendesak diadakan evaluasi dan modernisasi alutsista milik TNI. Melalui berbagai kesempatan, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga telah mengungkapkan komitmen untuk memodernisasi alutsista, namun terkendala oleh keterbatasan anggaran pertahanan.
Selepas tragedi Nanggala, Prabowo pun mengatakan akan ada masterplan alutsista selama 25 tahun yang merupakan mandat khusus Presiden Joko Widodo. Bukan tak mungkin, masterplan itu menggantikan Minimum Essential Force (MEF).
Sementara beberapa waktu lalu, anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menyatakan bahwa pemerintah tengah merancang peraturan presiden masterplan modernisasi alutsista selama 25 tahun dengan skema pinjaman luar negeri senilai kurang lebih Rp1.760 triliun.
Pemerhati Mileter Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, jika rancangan masterplan itu disetujui, maka Indonesia akan mampu mengejar target belanja pertahanan sekitar 1,5 persen dari PDB per tahun.
“Asumsinya, sebanyak 0,78 persen bersumber dari anggaran regular dan sekitar 0,7 persen bersumber dari pinjaman luar negeri. Dengan demikian, harapannya dilema yang dirasakan tadi dapat terjawab,” kata Khairul Fahmi dalam keterangan tertulis, Rabu (19/5).
Jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada 2020 yang mencapai Rp15.434,2 triliun, maka angka yang dialokasikan pemerintah untuk masterplan alutsista selama 25 tahun hanya akan berada di angka 11,4 persen. Terlebih, bila angka PDB Indonesia tahun lalu dikalikan 25 tahun sebagai asumsi, persentase jumlah yang direncanakan dari PDB disebut akan tampak lebih kecil, yakni sebesar 0,7 persen setiap tahun.
“Namun demikian, perlu untuk diingatkan bahwa masterplan itu tetap harus dibarengi dengan sejumlah langkah untuk memastikan akuntabilitasnya,” kata Khairul Fahmi.
Menurutnya, ada lima hal yang perlu diperhatikan. Pertama, adalah penguatan peran dan fungsi Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Kedua, pengaturan ketat terkait keterlibatan pihak ketiga agar dapat dijamin kapabilitas dan akuntabilitasnya.
“Ketiga, penyusunan indikator kemandirian industri pertahanan nasional yang dibangun dengan melihat proporsi kebutuhan,” ujar Khairul Fahmi.
Adapun hal keempat adalah perencanaan anggaran yang matang, berkesinambungan, dan dengan prioritas yang terukur, hingga skema penahapan pengadaan jika anggaran terbatas.
Terakhir, yakni penyediaan dukungan anggaran yang proporsional untuk mendorong pengembangan riset termasuk di lingkungan perguruan tinggi, serta pemberian insentif bagi industri pertahanan dalam negeri untuk mengadakan inovasi. (zik)