JAKARTA,HOLOPIS.COM- Tanah merupakan salah satu aset berupa benda mati yang kerap menimbulkan sengketa. Namun tak semua sengketa tanah berakhir ke meja hijau.
Banyak pihak yang mencapai kesepakatan lewat mediasi. Sedangkan langkah hukum akan dijadikan upaya terakhir dalam menyelesaikan sengketa. Dalam konteks ini, praktisi hukum yang ditunjuk untuk menangani sengketa harus memahami posisi. Tujuannya adalah untuk memilih langkah yang tepat dalam penyelesaian sengketa.
Founder WLP Law Firm Wardaniman Larosa menyampaikan bahwa pada dasarnya perkara pertanahan tidak memiliki perbedaan dengan perkara ligitasi lainnya. Hanya saja dalam perkara sengketa tanah kuasa hukum harus memahami kasus posisi terlebih dahulu. Memahami kasus posisi penting sebagai bagian untuk mempelajari masalah.
“Tips hukum menangani perkara pertanahan sama saja dengan litigasi lain, cuma kalau kita menangani pertanahan kita harus tahu kasus posisi dulu,” kata Warda, Rabu (12/5).
Setelah memahami kasus posisi, kuasa hukum harus memahami dan menguasai regulasi dan aturan yang ada semisal daluarsa perkara dan melakukan koordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dengan persoalan pertanahan yang sedang ditangani. Hasil dari upaya-upaya tersebut akan menentukan apakah perkara akan berlanjut ke pihak kepolisian atau melayangkan gugatan ke pengadilan jika ditemukan perbuatan melawan hukum.
Gugatan ini dilayangkan harus disesuaikan dengan lokasi sengketa dan obyek sengketa. Jika obyek sengketa bersifat KTUN, maka permohonan perkara bisa diajukan ke PTUN, dan bisa ke pengadilan negeri jika sengketa pertanahan terkait sengketa kepemilikan tanpa mengandung unsur PTUN dan bersifat perdata.
Namun perkara sengketa tanah ini juga bisa berlabuh ke ranah pidana. Menyoal ini Warda menegaskan tak ada formulasi khusus untuk mendahulukan pidana atau perdata. Namun yang paling penting adalah membuktikan adanya unsur pidana dalam sengketa tanah tersebut.
“Mau pidana dulu atau perdata, yang terpenting buktikan dulu unsur pidananya sehingga kalau pidana sudah terbukti ada perbuatan melawan hukum (PMH) itu bisa mengajukan gugatan PMH ke pengadilan negeri dengan bukti kuat dari putusan pengadilan pidana yang sudah inkrah. Tapi tidak harus seperti itu, tergantung kasus posisi dan trik dari masing-masing lawyer, tapi kurang lebih jalurnya bisa ke PTUN, pengadilan negeri atau ke kepolisian,” paparnya.
Modus Operandi
Sengketa tanah yang berlabuh ke ranah pidana biasanya melibatkan mafia tanah. Keberadaan mafia tanah ini bukanlah merupakan hal baru dalam perkara pidana pertanahan. Dalam melakukan kejahatannya, mafia tanah melakukan beragam modus operandi dan melibatkan pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengurusan sertifikat tanah.
Warda Larosa menyebut beberapa bentuk modus operandi yang dilakukan mafia tanah. Pertama seolah-olah menjadi pembeli dan meminjam sertifikat tanah dengan alasan pengecekan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Saat sertifikat sudah diperoleh, mafia tanah akan melakukan pemalsuan sertifikat, menjual tanah tanpa sepengetahuan pemilik dengan melibatkan oknum-oknum yang memang sudah disiapkan. Untuk menghindari hal ini Warda Larosa mengigatkan untuk tidak memberikan sertifikat kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang tidak dikenal.
Kedua, modus kepemilikan girik. Dalam satu kasus, kata Warda Larosa, terdapat kasus yang cukup menarik di mana sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Padahal pemilik tanah memiliki sertifikat yang dikeluarkan lima tahun lebih awal (1975) daripada klaim kepemilikan girik (1980). Saat proses di pengadilan, PTUN mengabulkan gugatan pemohon dan memerintahkan kantor pertanahan untuk membatalkan sertifikat yang diterbitkan tahun 1975. Untungnya di tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI membatalkan putusan PTUN tersebut.
“Ini sertifikat bisa dikalahkan oleh girik. Putusan MA kemudian memenangkan kita dan putusan cukup bagus, seperti ini modus-modus yang dicoba dilakukan oleh para mafia tanah,” paparnya.
Ketiga, dengan melibatkan broker dan oknum notaris dan PPAT. Pada beberapa kasus, penjualan tanah dilakukan oleh broker. Pihak broker melakukan penipuan dengan memanfaatkan kondisi fisik pemilik sertifikat tanah karena faktor usia untuk memainkan harga jual tanah. Ketidaktelitian dan ketidakpahaman pemilik sertifikat dijadikan alat oleh broker untuk menjalankan modusnya dimana harga penjualan tanah pada AJB tidak sesuai dengan jumlah dana yang diserahkan kepada pemilik sertifikat tanah. Kasus semacam ini biasanya melibatkan oknum NOTARIS dan PPAT.
“Ini terjadi ketika korban rata-rata orang tua. Orang tua yang sudah berumur tidak mungkin memahami harga pasaran, tidak terlalu begitu memperhatikan surat-surat, sering lupa ingat. Dalam satu kasus ada broker yang berhasil menjual tanah seharga Rp32 miliar, tapi yang diserahkan kepada pemilik sertifikat hanya Rp16 miliar. Di sini peran notaris dan PPAT dalam konteks jual beli patut diduga bermain dan ini modus-modus yang sering kami temukan,” imbuhnya.
Untuk menghindari mafia tanah ini, Warda Larosa meminta semua pihak untuk memastikan bahwa sertifikat tanah yang mereka miliki adalah asli dan real. Hal ini mengingat kerja mafia tanah yang tersistematik dan memiliki tim sendiri pada lapisan pejabat yang berwenang menangani sertifikat tanah.
Kemudian pemilik sertifikat diminta untuk tidak sembarangan memberikan dokumen pribadi seperti KTP, NPWP dan sertifikat tanah itu sendiri. Pasalnya, pemalsuan dokumen semacam itu bukanlah hal sulit yang dilakukan oleh mafia tanah.
Dan jika ingin melakukan jual beli tanah, wajib melakukan validasi notaris dan PPAT. Sebaiknya menggunakan jasa NOTARIS dan PPAT yang memiliki rekam jejak dan reputasi baik.
“Kemudian saran saya jangan memberikan kesempatan kepada sembarang orang untuk mengakses dokumen legal. Selama ini modus-modus seperti ini bisa lolos karena ada oknum yang bermain,” pungkasnya.
Temukan kami di Google News. Jangan lupa klik logo bintang untuk dapatkan update berita terbaru. Silakan follow juga WhatsApp Channnel untuk dapatkan 10 berita pilihan setiap hari dari tim redaksi.