JAKARTA, HOLOPIS.COM – Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap bantuan kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh bagi para peserta didik.
“Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemdikbud dan Kementerian Agama Republik Indonesia harus melakukan rapat koordinasi nasional dengan para Kepala Dinas Pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta para Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi dan kabupaten/kota untuk melakukan pemetaan kesenjangan digital antara sekolah di pedesaan dengan di perkotaan sehingga terpetakan juga kecamatan mana yang mayoritas masalah pada sinyal yang tak stabil, blank spot, atau pada ketiadaan alat daring,” kata Retno dalam bincang Podcast ‘Ruang Tamu’ HOLOPIS.COM edisi Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang disiarkan secara langsung dalam akun instagram @holopiscom, Minggu (2/5/2021).
Dengan hanya mengandalkan bantuan kuota yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp7 Triliun lanjut Retno, pendidikan dimasa Pandemi belum menyentuh anak-anak dari keluarga miskin.
Retno juga mencatat ‘mubazirnya’ bantuan kuota yang diberikan oleh pemerintah kepada peserta didik. Menurutnya banyak kuota yang terbuang dan tidak bermanfaat untuk pembelajaran.
“Misalnya bantuan kuota 30GB, kepakai cuma 15GB, sisanya terbuang. Itu untuk satu anak, kalau 10 juta anak sudah berapa itu harganya. Sudah berapa puluh milyar itu 15GB terbuang, malah bisa dibelikan gadget untuk anak miskin yang betul-betul tidak mampu. Akhirnya provider yang sudah kaya, yang mendapatkan kuntungan berkali lipat, itu kebijakan pemerintah kasih kuota doang, nggak pake lihat masalahnya, kebutuhan lapangan apa,” tegas Retno.
“Pemetaan masalah yang jelas dan terukur lanjut Retno, akan memberikan kemudahan intervensi atau penyelesaian masalah, sehingga semua peserta didik terlayani BDR/PJJ dengan baik, Bantuan Negara menjadi tepat guna dan berkeadilan,” tambahnya.
Retno menambahkan, Dinas Pendidikan Daerah harus bekerja dengan Dinas terkait misalnya Dinas Kesehatan Daerah untuk sinergi dalam menyiapkan dan mengawal Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang akan dilaksanakan serentak pada Juli 2021 sebagai salah satu cara menyelesaikan kebuntuan dari BDR/PJJ, agar PTM benar-benar berkualitas pembelajarannya dan juga berkeadilan.
“Jangan sampai syarat anak didik mengikuti PTM hanya dapat dipenuhi oleh anak-anak dari keluarga kaya. Mengingat banyak syarat PTM yang tidak dapat dipenuhi anak-anak dari keluarga miskin karena harus naik kendaraan pribadi dan harus memiliki sejumlah sarana mendukung 3M dan 5M. Padahal yang tak terlayani PJJ justru anak-anak dari keluarga miskin,” ujarnya.
Retno menuturkan, sekolah harus lebih kreatif agar PTM di masa pandemi tidak menjadi kaku dan mencekam, tapi tetap aman dilaksanakan. Gelar PTM juga harus mempertimbangkan positivity rate kasus covid di suatu daerah. Kemudian juga dibutuhkan kreativitas sekolah-sekolah di berbagai daerah yang dapat memanfaatkan alam dalam melakukan PTM.
“Misalnya anak-anak di pesisir dapat belajar di alam terbuka di tepi pantai, anak-anak di penggunungan dapat belajar di alam terbuka khas penggunungan dengan bermodalkan tikar atau kursi lipat, namun tetap menjalankan protocol kesehatan. Apalagi sekolah-sekolah dipelosok yang mungkin tidak sanggup membangun infrastruktur Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) di satuan pendidikan pada masa pandemi harus mendapatkan bantuan dan intervensi dari pemerintah pusat maupun daerah,” ujarnya.
“Selain itu Pelaksanaan PTM tidak bisa diseragamkan di seluruh Indonesia, memgingat Indonesia teramat luas dan sangat beragam kondisinya, oleh karenanya belajar di luar ruangan dengan tetap menerapkan 3 M bisa menjadi pilihan atau alternatif bagi sekolah-sekolah yang belum mampu menyiapkan infrastruktur dan air bersih yang memadai,” tutup Retno.