HOLOPISCOM – Kisah penaklukan Konstantinopel (kini Istanbul) oleh Sultan Muhammad al-Fatih atau yang dikenal Mehmed II dari Kekaisaran Turki Usmani (Ottoman) kerap digunakan untuk kepentingan politik di dalam dan luar negeri.
Di balik itu, proses untuk merebut kota yang masyhur pada masa Kekaisaran Byzantium atau Romawi Timur itu membutuhkan persiapan yang cukup lama.
Rencana Mehmed II menyerbu Konstantinopel sebenarnya sudah terendus saat Kekaisaran Romawi Timur pada Februari 1452 mengutus duta besar untuk memberitahu Senat di Venesia, bahwa Turki Usmani akan mengepung kota itu.
Kaisar Romawi Timur, Konstantin I, cemas ibu kota kekaisaran akan jatuh jika tidak dibantu kekuatan kelompok Kristen.
Akan tetapi, para pemeluk Kristen di Eropa saat itu disibukkan dengan perebutan kekuasaan setelah Kekaisaran Romawi Barat tumbang.
Mehmed II kemudian memerintah Panglima Perang, Karaca ‘Dayi’ Pasha, mengumpulkan pasukan lalu menyerang kota-kota yang dikuasai Byzantium.
Sang sultan kemudian membentuk armada Angkatan Laut di Galipoli. Menurut penulis buku Penaklukan Usmani atas Romawi Timur, Michael Kritobolous, yang dikutip penulis buku Muhammad Al Fatih: Sang Penakluk Konstantinopel, John Freleey, jumlah kapal perang dalam armada itu mencapai 350 unit.
Sementara itu, Mehmed terus mempersiapkan senjata, logistik dan ribuan pasukan untuk merebut Konstantinopel.
Ribuan pasukan itu meliputi pasukan berkuda dan infanteri.
Salah satu orang yang ditugaskan mempertahankan Konstantinopel adalah Nicolo Barbaro, seorang ahli perkapalan dari Venesia. Catatan harian yang dia tulis menjadi salah satu sumber sejarah peristiwa itu.
Berdasarkan catatan harian Barbaro, satu jam sebelum matahari terbit pada 5 April 1453, Sultan Mehmed II datang dengan sekitar 165 ribu pasukan dan berkemah sejauh empat kilometer dari dinding kota itu. Dia mengepung Konstantinopel dari 6 April sampai 29 Mei 1453.
Dalam peperangan itu, Mehmed II membawa meriam paling hebat pada masa itu. Saking beratnya, meriam itu harus ditarik oleh 60 ekor sapi sampai berada pada jarak delapan kilometer Konstantinopel.
Dua hari kemudian, Mehmed II bersama pasukannya mulai menyerbu Konstantinopel dari darat dan laut.
Selain Karaca Pasha, panglima perang Zaganos Pasha dan Suleyman Baltagolu dilibatkan oleh Mehmed II dalam peperangan itu.
Ketika pasukannya berhasil mengepung kota itu, Mehmed II menawarkan syarat penyerahan Konstantinopel. Dia hanya memberikan dua pilihan, yakni berperang atau gencatan senjata. Tawaran Mehmed II ditolak mentah-mentah oleh Konstantin.
Pada 6 April, Mehmed II mulai membombardir kota itu. Lalu pada 11 April dia memerintahkan pasukan infanteri melakukan serangan dan melanjutkan gempuran melalui meriam. Dinding kota Konstantinopel perlahan hancur akibat serangan meriam.
Pertempuran yang terus menerus terjadi menyebabkan Kota Konstantinopel kehabisan logistik.
“Kota benar-benar tertekan, karena persediaan yang menyusut, khususnya anggur, roti, dan barang-barang lain yang dibutuhkan untuk mempertahankan hidup,” tulis Barbaro dalam catatan hariannya.
Lima hari sebelum kota itu jatuh, Mehmed II menyerang habis-habisan dengan meriam, pasukan infanteri dan panah.
Masyarakat Konstantinopel semakin terjepit. Mereka lantas berkumpul dan berdoa di Gereja Aya Sofia (kini Masjid Hagia Sophia) meminta perlindungan.
Pada 29 Mei 1453, Mehmed II memerintahkan pasukannya untuk kembali menyerang.
Konstantin akhirnya angkat senjata melawan pasukan Mehmed II. Namun, akhirnya dia terbunuh dalam peperangan.
Setelah berhasil merebut Konstantinopel, Mehmed II memerintahkan pasukannya menaikkan bendera Bintang dan Bulan Sabit di menara Tembok Theodosius dan Istana Blachernae.
Menurut catatan Kritoboulus, hampir 4.000 orang meninggal dalam pertempuran. Meski menang, Mehmed II melihat keindahan Konstantinopel nyaris lenyap akibat peperangan.
Mehmed II lantas meneteskan air mata dan berkata, “Betapa elok kota yang kita rampas dan hancurkan ini.” (zik)