HOLOPISCOM – Setelah Nabi Ibrahim a’laihissalam (As) menghancurkan berhala-berhala yang disembah kaumnya dan hanya menyisakan satu berhala paling besar dengan sebuah kapak ditangannya, mulailah hukuman bagi beliau.
Adapun berhala paling besar yang disisakan oleh Nabi Ibrahim, untuk memancing nalar logika kaumnya. Hal itu dimaksudkan agar kaumnya ‘paham’ bahwa berhala paling besar sekalipun tidak dapat melakukan apapun dan tidak layak dijadikan sembahan.
“Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan (perbuatan) ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sungguh, dia termasuk orang yang zhalim’.” (QS Al-Anbiya : 59)
Nabi Ibrahim pun ‘didakwa’ karena ia yang selama ini menolak menyembah berhala dan hanya Nabi Ibrahim yang ketika itu berada didalam kota seorang diri.
Mereka bertanya, apakah Nabi Ibrahim yang telah melakukan perbuatan menghancurkan berhala-berhala mereka. Nabi Ibrahim menjawab,
“Sebenarnya (patung) besar itu yang melakukannya. Maka tanyakanlah kepada mereka, jika mereka dapat berbicara.” (QS. Al Anbiya : 63)
Nabi Ibrahim melakukan hal tersebut untuk mengingatkan kaumnya bahwa patung tidak patut untuk disembah. Merasa dihina oleh Nabi Ibrahim, kaumnya pun termasuk ayahnya yang terkenal sebagai pembuat patung berhala menggunakan kekuatan dan kekuasaan untuk menghukum Nabi Ibrahim.
“Buatlah bangunan (perapian) untuknya (membakar Nabi Ibrahim); lalu lemparkan dia kedalam api yang menyala-nyala itu.” (QS. Ash-Shaffat : 97)
Mereka kemudian mengumpulkan berbagai kayu darimana saja yang bisa mereka dapatkan. Kemudian mereka meletakkan kayu bakarnya disebuah lubang yang besar . Lalu mereka membakarnya, hingga api berkobar dan membumbung tinggi, bahkan belum pernah terlihat pemandangan api yang sebesar itu sebelumnya. Panasnya yang memancar hingga puluhan meter.
Setelah itu mereka melemparkan Nabi Ibrahim kedalam api dan mengikatkan kedua tangan Nabi Ibrahim di belakang.
Ketika Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam kobaran api, beliau mengucapkan, “Hasbunallah wa ni’mal wakil (cukuplah Allah sebagai penolong) kami, dan dialah sebaik-baik pelindung).” Sebagian ulama menyebutkan, ketika Nabi Ibrahim berada di udara setelah dileparkan, Malaikat Jibril menawarkan bantuan kepada beliau, Jibril berkata, “Hai Ibrahim! Apa kau punya suatu keperluan?” Nabi Ibrahim menjawab, ‘Tidak padamu.’
Kemudian Allah berfirman :
“Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS. Al Anbiya : 69) Ibnu Abbas mengatakan, ‘Andai Allah tidak berfirman, “Dan penyelamat bagi Ibrahim”, tentu dinginnya api tersebut membahayakan Nabi Ibrahim.’
Setelah beberapa hari berada dalam kobaran api, kemudian Allah perintahkan kepada Nabi Ibrahim untuk keluar dan agar tidak berbicara sepatah katapun kepada orang-orang yang menyaksikan pembakaran itu ketika berjalan keluar. Seluruh orang yang menyaksikan merasa kebingungan dengan apa yang mereka lihat. Hanya pengikat tangan saja yang terbakar, sedangkan Nabi Ibrahim tampak sehat dan segar.
Kaumnya pun kebingungan. Mereka hampir tidak percaya dengan apa yang telah mereka saksikan.
Demikianlah tanda-tanda dari kebesaran Allah, apabila Dia berkehendak, maka tidak ada sesuatupun yang mampu menolaknya.
Setelah melihat mukjizat itu, lagi-lagi hanya sedikit yang meyakini dengan ajaran yang dibawa Nabi Ibrahim. Ayahnya pun mengakui kehebatan mukjizat tersebut namun masih enggan untuk beriman.
Kisah lain dari peristiwa disampaikan oleh Imam Bukhari dalam sebuah riwayat tentang perintah Rasulullah untuk membunuh tokek, karena ia ikut meniup api untuk membakar Nabi Ibrahim, padahal binatang melata lainnya berusaha untuk memadamkan apinya.
Saat dalam kobaran api besar yang memusnahkan, terdengar seruan, “Kami berfirman, ‘Hai api, menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya [21]: 69).
Di balik kejadian tersebut, nyatanya ada beberapa spesies hewan yang terlibat. Hewan-hewan yang dimaksud adalah cicak, semut, dan burung. Di antara hewan-hewan itu ada yang berpihak pada Nabi Ibrahim dan ada yang berpihak pada kaum kafir.
Semut misalnya, ia dengan susah payah berlari ke membawa butiran air dengan mulutnya untuk memadamkan api yang mulai menyelimuti tubuh Nabi Ibrahim. Melihat usaha semut tersebut, seekor burung justru nyinyir dan meragukan apa yang dilakukan semut.
“Wahai semut, tidak mungkin setetes air yang ada di mulutmu akan mampu memadamkan kobaran api yang sangat besar itu,” kata si burung.
“Memang benar air ini tidak akan mampu memadamkan api itu. Tapi ini kulakukan paling tidak semua akan melihat bahwa aku berada di pihak yang mana,” sahut semut.
Di sisi lain, cicak justru berusaha meniup api dan meperbesarnya sehingga ia dengan gamblang berpihak pada kezaliman.
Apa yang dilakukan cicak ini dikatakan dalam sebuah hadis, “Dahulu, cicaklah yang meniup dan memperbesar kobaran api yang membakar Ibrahim.” (HR. Muslim).
(Berbagai Sumber – Kisah Para Nabi, Ibnu Katsir Ummul Qura : 2018)