Dewasa ini Indonesia dihadapkan persoalan dilematis yang genting terkait Representasi Politik dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Pada situasi saat ini sistem demokrasi menjadi unifikasi yang ampuh untuk menghasilkan diskursus kritis ruang publik terkait Pemilihan Umum. Salah satu syarat negara demokrasi adalah adanya kontestasi politik, yaitu terkait Pemilihan Umum yang dilakukan secara rutin setiap lima tahun untuk membentuk dan mewujudkan pemerintahan demokratis. Pemilihan Umum merupakan instrument demokrasi untuk memilih secara langsung wakil-wakil rakyat yang akan duduk di Parlemen.
Dasarnya Pemilihan Umum sering dimaknai dan diartikan sebagai suatu realisasi kedaulatan rakyat dan juga ditafsirkan sebagai sarana untuk memberikan dan memperkuat legitimasi rakyat. Terkait realisasi yang dimaksud adalah tarik menarik kepentingan politik. Pemilu bukan sekedar menjadi ajang elektoral belakang untuk memenuhi tuntutan dan agenda normatif sebagai syarat demokrasi, tetapi menjadi fenomena politik yang memberi nilai dan arti besar bagi warga negara. Pemilu mencerminkan representasi politik, warga negara melalui kompetisi, partisipasi dan penggunaan hak politiknya tercipta pola perilaku warga negara dalam merespon adanya pemilu. Representasi yang secara sederhana diartikan Oleh Nuri Suseno sebagai “Menghadirkan yang tidak ada atau yang tidak hadir.”
Istilah dan pemaknaan tentang perwakilan baru muncul pada masa Romawi kuno, meskipun tidak secara langsung bermakna politik. Di dalam bahasa romawi “representation” berasal dari kata “representare”. Menurut Carl J. Friedrich mengemukakan parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat (Representative assemblies), parlemen juga sebagai majelis tempat dilakukannya pembahasan (deliberative Assemblies) merupakan lembaga yang berusaha untuk memecahkan masalah dalam aktivitas masyarakat. Dengan ini menjadi pembahasan penting bagaimana Representasi Politik dapat menunjang Pemilu yang subtansial sesuai dengan nilai dasar dari prinsip Demokrasi dimana memberikan ruang bagi warga negara yang belum diwakilkan entitasnya atau kaum minoritas dalam politik Indonesia. Menariknya saat ini Demokrasi selalu menjadi bahasan sentral yang sering dikaitkan dengan representasi karena dasarnya perkembangan demokrasi perwakilan adalah prinsip fundamental yang wajib ditegakkan di negara modern.
Bentuk-bentuk Keterwakilan Politik
Mengenal iklim perpolitikan Indonesia sebagai salah satu syarat agar dapat memahami keterwakilan politik. Ada dua iklim dan karakteristik dasar yang pertama adalah penekanan pada pertanyaan mengenai seberapa plural Indonesia sebagai suatu entitas politik yang dipahami dari bentuk representasi dan watak pengambilan kebijakan. Kedua sejak masa Orde Baru pusat kajian sepenuhnya diberikan pada usaha memahami logika kerja kekuasaan ditingkat pusat, dan untuk sejumlah batas institusi-institusi modern seperti partai politik, terkait pemilu, parlemen, institusi militer, birokrasi, dan sebagaiannya juga dipusat. Mempertegas bahwasanya Representasi ini sebagai persoalan pokok politik Indonesia, letak persoalan itu bukan pada kondisi nihilnya representasi perse, tapi lebih jauh lagi justru pada konseptualisasi representasi/keterwakilan.
Di dalam teori terkait keterwakilan di parlemen yang dikemukaan oleh Anne Phillips ada dua pembahasan, pertama Politics Of Idea (Politik Ide), dan kedua Politics Of Presence (Politik Kehadiran). Anne Phillips menjelaskan dan menyatakan bahwa keterwakilan politik yang terjadi saat ini secara gambaran umum merupakan perwujudan bentuk politik ide, yang dimaksud dengan politik ide adalah situasi di mana wakil politik membawa berbagai ide atau gagasan dari orang-orang yang diwakilkannya. Walaupun demikian, terselenggaranya sistem pemilihan melalui partai politik menjadikan para pemilih hanya memilih berdasar pada partai tanpa mengenal lebih dekat calon wakilnya tersebut. Hal ini menempatkan anggota parlemen sebagai keterwakilan partai, bukan lagi keterwakilan rakyat. Selain itu, para wakil tersebut sering kali tidak menyuarakan seluruh ide dan aspirasi dari pemilihnya, tetapi lebih mengutamakan ide dari komunitas tertentu yang dekat dengan identitas dirinya, seperti jenis kelamin, ras, dan etnis. Hal ini tentu saja merugikan kelompok-kelompok minoritas, termasuk kelompok perempuan, kelompok yang mewakilkan adat, kelompok buruh, kelompok yang fokus terhadap alam dan lingkungan hidup.
Pitkins membagi bentuk Representasi politik menjadi 4 yang tertuang dalam bukunya The Concept Of Representation 1967, pertama Formalistic Representation adalah Representasi melalui desain lembaga formal dimana rakyat memberikan otoritas terhadap lembaga tersebut dan meminta akuntabilitas dari lembaga tersebut. Kedua Symbolic Representation dimana representasi bersifat simbolik orang yang direpresentasikan melalui gagasan dan nilai keyakinan tertentu berbicara atas nama yang diwakilkan. Ketiga Descriptive Representation adalah representasi berdasarkan kategori atau identitas tertentu contoh perempuan harus diwakilkan dengan peremuan, orang sumatera harus diwakilkan oleh orang sumatera. Keempat Substantive Representation dimana orang melakukan tindakan yang konkret, bertindak untuk sesuatu yang subtantif mewujudkan tujuan dan kepentingan tertentu dari orang yang diwakilkan. Tidak semua orang dapat berpijak din semua bentuk representasi tadi, ada yang berpijak pada bentuk formal, atau bentuk descriptive, symbolic dan substantive, tapi ada kalanya orang tertentu bisa berpijak lebih dari satu bahkan empat-empatnya.
Penulis melihat bahwa perlu diperjelas kembali terkait bentuk keterwakilan yang ada sesuai dengan konsep Anne Phillips dan Hanna Pitkins. Partai Politik sebagai lembaga intermediari harus dapat mewakilkan bentuk keterwakilan masyarakat yang prural agar dapat mengakomodir kepentingan dan hak warga negara dalam ranah politik untuk mecapai tujuan kelompoknya. Sistem Kepartaian di Indonesia saat ini memberi ruang terbuka untuk membentuk partai politik, karena sistem kepartian mengatur pola kompetisi yang terus-menerus dan bersifat stabil yang selalu tampak disetiap proses pemilu dengan membawa nilai ideologi atau nilai perjuangan dari entitas yang diwakilkan. Contoh dalam hal ini kembali membentuk Partai Buruh Indonesia, yang nantinya partai ini akan membawa isu-isu buruh di parlemen agar tercapai tujuan dan perlindungan bagi buruh-buruh Indonesia serta menyeimbangkan gagasan dan wacana di parlemen dalam melawan narasi kebijakan yang berorientasi ke neo liberal. Contoh lainnya adalah pembangun partai alternatif seperti Partai Hijau Indonesia bertujuan menjadikan agenda politik lingkungan hidup sebagai agenda utama bagi LSM/NGO yang mewakilkan isu-isu lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Keberhasilan Dalam Keterwakilan Politik
Keterwakilan / Representasi dapat dikatakan berhasil jika pertama instrument Pemilu aspiratif dan demokratis bersifat kompetitif sehat, dalam arti peserta pemilu yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Parpol bebas dan otonom. Kedua memberikan peluang yang sama kepada semua kelompok masyarakat untuk berpartisipasi, tidak ada satupun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif. Pengupayahan terhadap akomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran Partai Politik sebagai salah satu wadah representasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mewujudkan Parpol sebagai organisasi bersifat nasional dan modern, salah satunya melakukan penyelenggaraan rutin dan berjangka terkait pendidikan politik, memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, serta melaksanakan rekrutmen kader sesuai dengan Jati diri, watak, karakter dari Parpol itu sendiri yang berlandasankan ideologi masing-masing.
Perwakilan berbentuk hubungan principal-agent yang berbasis teritorial dan bersifat formal. Ini menjadi dasar pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan rakyatnya. Perwakilan berada di wilayah kekuasaan politik yang bertanggung jawab dan akuntabel dengan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk dapat memengaruhi dan melakukan kontrol. Hak untuk memilih para wakil sebagai bentuk persamaan politik. Dengan ini terciptanya dan terwujudnya kepentingan rakyat dalam bentuk kebijakan, segala keputusan yang keluar selalu mempertimbangkan aspirasi rakyat dengan memanfaatkan ruang publik dengan baik.
Kegagalan Dalam Keterwakilan Politik
Muncul keresahan dikalangan elemen masyarakat, dimana Pemilu menghasilkan wakil rakyat yang semakin jauh dari harapan rakyat, Terbukti banyak dari produk legislasi yang dihasilkan justru jauh dari harapan publik yang tidak sesuai dengan kehendak publik semisal contohnya UU Cipta Kerja, RUU HIP, lemahnya fungsi pengawasan dari DPR kepada eksekutif, hingga banyaknya wakil rakyat terlibat kasus korupsi. Data KPK dari Tahun 2004 – Mei 2020 menunjukan tercatat Korupsi Anggota DPR/DPRD sebanyak 257 tingginya angka ini berdampak luas terhadap kepercayaan publik kepada Anggota DPR yang mewakilkannya.
Pemilu di Indonesia mengalami persoalan yang besar pada tataran sistemnya karena itu berdampak terhadap kualitas dari wakil rakyat yang justru merujuk kepada kegagalan dalam keterwakilan, pertama hilangnya esensi representasi politik kolektif karena mengedepankan cara-cara pragmatis dalam memilih calon-calon yang akan berkompetisi dalam Pemilu atas dasar popularitas atupun dukungan finansial. Problemnya calon terpilih bisa jadi tidak memahami ideologi dan program partai karena proses yang instan dan mengandalkan popularitas contoh terkait hal ini banyak dari Partai Politik yang menggandeng selebritis untuk terjun kedunia Politik dan ikut Pemilu salah satunya Krisdayanti dari PDIP mewakilkan Dapil Jatim V, ketertutupan dalam rekrutmen kader yang akan menjadi caleg bentuk kegagalan partai politik yang tidak memenuhi amanat AD ART. Kedua terjadi ketidaksetaraan dan disproporsionalitas keterwakilan, sistem keterwakilan yang ideal berdasarkan prinsip equal representation atau kesetaraan keterwakilan seluruh penduduk. Perlu di pertimbangkan keseimbangan keterwakilan berbagai unsur atau kelompok masyarakat, selain itu rendahnya suara yang tidak dikonversi menjadi kursi.
Kritik
Representasi/Keterwakilan yang seharusnya terjadi dalam menunjang demokrasi dan sistem politik di Indonesia adalah perwakilan yang tindakannya untuk memenuhi kepentingan yang diwakilkan dalam upaya-upaya merespon kepentingan yang diwakilkan. Dalam realita dan praktiknya menurut data yang telah dihimpun oleh penulis Bentuk Formalistic Representation dan Descriptive Representation melalui desain lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat ini mengalami kegagalan, setelah masuk bilik suara dan terpilih menjadi anggota dewan mandat hilang karena representer dan yang direpresentasikan terputus, anggota DPR tidak mengenal yang memilih tetapi salalu mengklaim dipilih oleh rakyat, lalu rakyat mana yang diwakilkan di dapilnya, wacana yang diutamakan adalah kepentingan parpol, contoh data dan kasus nyata yang penulis temukan terkait RUU PKS ditarik dari Prolegnas Prioritas di saat tingginya kasus kekerasan seksual di Indonesia yang mengancam perempuan Indonesia bahkan anak-anak Indonesia, jika melihat jumlah kursi keterwakilan perempuan di DPR periode 2019-2024 cukup banyak sekaligus ketua DPR RI adalah perempuan seharusnya dalam bentuk idealnya dapat membangun dan mengangkat wacana kebijakan perlindungan perempuan. Contoh selanjutnya, UU Cipta Kerja yang banyak dari kalangan masyarkat terutama buruh dan aktivis lingkungan menolak UU tersebut, fraksi PDIP sebagai salah satu Partai yang berideologi kerakyatan, selalu membawa isu buruh dalam membangun narasi publik tapi justru menyetujuin UU Cipta Kerja, banyak dari pemilih PDIP merupakan baris nasionalis, buruh. Dari data KPK dari Tahun 2004 – Mei 2020 menunjukan tercatat Korupsi Anggota DPR/DPRD sebanyak 257 tingginya angka ini berdampak luas terhadap kepercayaan publik kepada Anggota DPR yang mewakilkannya.
Persolan pemilu sebagai intrumen demokrasi, menjadi salah satu faktor kegagalan keterwakilan karena pemilu sebagai langkah awal untuk merealisasikan keterwakilan di parlemen diluar dari seleksi/rekrutmen partai politik. Temuan dari tim LIPI memperlihatkan ,50% responden menganggap bahwa praktik politik uang sebagai hal yang wajar dari hasil ini dapat dilihat bahwa pendidikan politik bagi warga negara tidak pernah sampai ke goalsnya. praktik mahar politk cenderung menjadikan momentum Pemilu sebagai pembentukan koalisi yang mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan golongan tertentu yang terlibat di dalamnya daripada kepentingan publik. Sistem Pemilu serentak 2019 mengakibatkan perhatian pemilih tersita untuk pemilihan presiden dan pemilih kurang punya waktu mengenali calon wakil mereka di DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dan akhirnya berdampak luas terhadap konstituennya. Terjadi pola yang sama dalam Pemilu di Indonesia dimana Partai-partai politik tidak mengutamakan nilai keterwakilan atas dasar kebutuhan rakyat sebagai landasan untuk memilih wakil delegasi dalam Pemilu, terbukti Aktor-aktor lama yang selalu menang dalam Pemilu justru tidak membawa perubahan nyata di masyarakat.
Penyelenggaraan Pemilu yang professional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggung jawabkan karena itu harus diutamakan.
Catatan Kritis
Terdapat upaya untuk memperjuangkan representasi kelompok-kelompok yang tertindas ataupun termarjinalkan oleh sistem yang ada. Jika Formalistic Representation dan Descriptive Representation dinilai gagal, ada pengupayaan untuk memperbaiki yaitu pengoptimalan peran dari bentuk Substantive Representation melalui kelompok masyarakat sipil seperti LSM, ataupun NGO. Data LIPI sebagian besar responden merasa lebih terwakili oleh ormas/LSM/NGO dibanding oleh elite politik dari partai politik, dengan ini membuktikan bahwa bentuk representasi subtantif membawa harapan di tengah kegagalan dan persoalan yang tidak pernah selesai dari bentuk Formalistic Representation dan Descriptive Representation. Pembentukan Partai Hijau Indonesia sebagai partai alternatif dapat membuat gerakan baru dengan mambawa narasi dan wacana yang subtantif dari keterwakilan di bidang lingkungan hidup, sama dengan pembentukan kembali Partai Buruh untuk mengakomodir kepentingan dari Buruh itu sendiri. Penerapan demokrasi deliberatif untuk menguatkan dan mengakomodir kelompok-kelompok di akar rumput dalam bentuk representasi melalui LSM/NGO sebagai penanding perang wacana dari DPR atau elite politik yang berpihak kepada oligarki secara diam-diam mengkhianati yang diwakilkannya. Pembaharuan dan perbaikin terhadap instrumen Pemilu agar menyediakan arena pertarungan yang jujur, adil, bebas, langsung, dan rahasia. Karena beberapa persolan pemilu yang sentral adalah money politic membuat pemilu gagal menjadi instrumen dalam melahirkan pejabat publik yang berintegritas. Dalam sistem proporsional terbuka, pemilu menjadi arena pertarungan kekuatan finansial dan popularitas personal. Dari awal sudah tidak representatif seterusnya akan memunculkan persoalan yang tidak mengedepankan representasi. Pembenahan pada partai politik untuk mengedepankan rekrutmen sesuai dengan kaidah ideal AD ART dapat membantu perbaikan bagi bentuk Formalistic Representation dan Descriptive Representation.
Perubahan sistem Pemilu sangat penting dilakukan, sehingga rakyat lebih realistis dalam memilih wakilnya dengan menekankan pada ide, gagasan, visi dan misi serta program kerja, bukan gambar ataupun sosok popularitas yang nirsubtansi. Penyediaan pendidikan pemilih bagi warga negara agar dapat dewasa dalam memilih sesuai dengan kebutuhan keterwakilannya. Pembuatan Regulasi dalam bentuk UU mengenai akuntabilitas dari Anggota Dewan agar para anggota dewan mempunyai tanggung jawab secara moral dan hukum terhadap yang diwakilkannya. Mengedepankan pada peningkatan fungsi perencanaan, pelaksanaa, pengawasan, dan evaluasi penyelenggaraan pemilu. Tercapainya kehendak rakyat yang diinginkan sebagai pemiliki kedaulatan melalui bentuk Representasi partai politik, kelompok masyarakat sipil, dan lain-lain dalam persaing di Pemilu, wacana publik dapat diwujudkan dengan kebijakan tepat sasaran.