JAKARTA, HOLOPIS.COM – Ombudsman RI menyoroti proses kebijakan stok atau penyimpanan beras yang berujung pada turunnya mutu beras sebanyak 300-400 ribu ton di gudang Bulog.
“Terdapat 300-400 ribu ton beras turun mutu, bila setengahnya saja tidak layak konsumsi maka kerugian negara itu Rp 1,25 triliun. Siapa yang mesti bertanggung jawab, kalau benar-benar nggak bisa dikonsumsi, ini beberapa gelisah juga,” kata Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika dalam konferensi pers virtual, Rabu (24/3/2021).
Jumlah itu merupakan stok beras dari tahun 2018-2019 yang didapat dari penyerapan lokal maupun impor di tahun 2018. Selama ini jalur distribusi beras Bulog mulai dipangkas. Apalagi setelah program beras sejahtera alias Rastra dihentikan per 2016 dan digantikan menjadi program Banguan Pangan Non Tunai (BPNT).
Dengan kebijakan itu mengurangi distribusi beras yang ada di gudang Bulog. Di sisi lain Bulog tetap diminta untuk menyerap produksi gabah dalam negeri untuk dijadikan beras.
“Ini lah kebijakan stok yang ditugaskan ke Perum Bulog jadi concern Ombudsman. Sejak 2016 Perum Bulog itu kehilangan outlet terbesarnya, program Rastra kemudian jadi BPNT. Sedangkan BPNT bisa ambil dari pihak selain Bulog berasnya. Di satu sisi Bulog mesti serap produk gabah dalam negeri selama setahun penuh,” ungkapnya.
Yeka menilai adanya kebijakan yang tidak sinkron, penyerapan beras di Bulog tak diiringi dengan kebijakan penyalurannya. Hal ini disebut bisa merugikan negara bahkan mematikan Bulog. Yeka menilai seharusnya stok Bulog juga boleh dijual komersil dalam jumlah banyak.
“Ini berpotensi merugikan negara dan bisa jadi ujungnya mematikan Bulog sendiri,” ujar Yeka.
Yeka menilai Ombudsman mencium adanya potensi maladministrasi pada kebijakan penyediaan beras pada Perum Bulog.
“Ombudmsan mencermati adanya potensi maladministrasi dalam manajemen stok beras akibat kebijakan tak terintegrasi dari hulu hilir. Semuanya tidak terintegrasi ada bottleneck di situ, maka beras turun mutu terjadi dan bisa menimbulkan kerugian besar,” pungkas Yeka.