JAKARTA, HOLOPIS.COM – Hari Musik Nasional dirayakan setiap 9 Maret. Tahun ini, perayaan Hari Musik Nasional berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Bermula pada akhir 2019, coronavirus baru (2019-nCoV) muncul di Provinsi Hubei, Cina. Laporan menunjukkan bahwa infeksi 2019-nCoV menyebabkan onset cluster mirip dengan coronavirus syndrome pernafasan akut (SARS).
WHO semenjak Januari 2020 telah menyatakan dunia masuk ke dalam darurat global terkait covid-19. Fenomena ini merupakan fenomena luar biasa yang terjadi di bumi pada abad ke-21, yang skalanya mungkin dapat disejajarkan dengan Perang Dunia, karena event-event skala besar seperti konser music tingkat nasional atau internasional hampir seluruhnya ditunda atau bahkan dibatalkan. Pandemi Corona virus di Indonesia diawali dengan temuan penderita penyakit koronavirus 2019 (COVID-19) pada 2 Maret 2020.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan status darurat bencana yang terhitung mulai tanggal 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020 terkait pandemi covid-19, dengan jumlah waktu 91 hari. Langkah- langkah telah dilakukan oleh pemerintah untuk dapat menyelesaikan kasus ini, salah satunya yaitu dengan mensosialisasikan gerakan social distancing. Gerakan ini menjelaskan bahwa untuk dapat mengurangi bahkan memutus mata rantai infeksi covid-19, seseorang harus menjaga jarak aman dengan lainnya minimal 2 meter, dan tidak melakukan kontak langsung dengan orang lain, serta menghindari pertemuan massal.
Tentu langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah di masa pandemi covid-19 memberikan dampak besar pada hampir semua profesi pekerja, salah satunya di bidang kreatif. Salah satu subsektor kreatif yang terdampak adalah pekerja seni yang kehilangan pekerjaan. Pandemi Covid-19 memukul aktivitas ekonomi akibat kebijakan penerapan karantina wilayah dan social distancing atau physical distancing. Pekerja kreatif terpaksa menerima kerugian lantaran penundaan atau bahkan pembatalan jadwal pertunjukan.
Jakarta International Java Jazz Festival 2020 yang berlangsung pada 28 Februari hingga 1 Maret 2020 menjadi festival musik berskala besar terakhir yang diadakan. Selebihnya, sejumlah festival yang telah dijadwal harus mundur atau batal sama sekali.
Head in the Clouds Jakarta yang diadakan 88rising dan seharusnya berlangsung pada 7 Maret 2020 menjadi salah satu festival pertama yang mengumumkan pembatalan setelah kasus Corona pertama diumumkan. Selebihnya, We The Fest dan Synchronize Fest berubah format ke virtual, Soundrenaline tidak diadakan, dan Hammersonic mengalami beberapa kali penundaan.
Pelaku industri musik memutar cara, panggung dipindah ke rumah masing-masing. Format virtual menjadi primadona dan ‘juru selamat’ sementara. Di awal pandemi, format konser virtual bagaikan coba-coba. Konser pada awalnya diadakan secara gratis melalui live YouTube maupun Instagram. Musisi tampil dari rumah masing-masing hanya dengan peralatan sederhana. Memasuki minggu-minggu berikutnya, konser virtual menjadi semakin berkembang.
Diciptakanlah platform streaming konser virtual berbayar dengan penampilan yang lebih baik. Para musisi merekam pertunjukannya dari studio, baik secara langsung maupun rekaman, dengan tim yang diminimalisir dan proses syuting yang memberlakukan protokol kesehatan.
Flavs 2020 hingga DWP-V bahkan menjadi festival musik yang berhasil menyajikan beberapa panggung di waktu yang sama dalam format virtual.
Sebagai bentuk lain dari konser virtual, NOAH juga mengadakan konser dengan teknologi unreal engine yang biasa digunakan untuk membuat game dan virtual reality dengan kamera 360 selama pandemi berlangsung.
Selain itu, muncul konsep konser drive-in yang berlangsung di Jakarta pada 29 dan 30 Agustus 22020 dengan Kahitna, Afgan dan Armand Maulana sebagai bintang tamu. Selain itu, ada pula konser drive-in di Sleman, Yogyakarta pada 19 dan 20 September 2020 dengan Kotak dan Jikustik sebagai pengisi acara.
Bottlesmoker juga sempat membuat konser untuk tanaman bertajuk Plantasia pada 25 Juli 2020 di Lou Belle Space, Bandung.
Perubahan kebudayaan musik di masa pandemi covid-19, menimbulkan dampak yang kurang baik bagi keberlangsungan kebudayaan musik baik dalam maupun luar negeri. Kebijakan social distancing atau physical distancing merubah budaya pertunjukan musik live menjadi budaya pertunjukan musik daring atau live streaming, yang pada akhirnya menimbulkan jarak antara pelaku musik/musisi dengan penggemarnya. Kemudian menjadikan interaksi antar manusia menjadi berkurang sehingga menimbulkan dehumanization.